I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Shalat fardhu atau Shalat lima waktu wajib dilaksanakan tepat pada waktunya, berdasarkan firman Allah SWT,
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah diwaktu berdiri, di waktu duduk, dan diwaktu berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu sebagaimana biasa. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 103).
Shalat pada waktunya merupakan amalan paling baik diantara amalan-amalan manusia, sebagaimana hadits Nabi:
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: سألت رسولالله صلى الله عليه وسلم اي اللأعمال افضل؟ قال : الصلاة على وقتها’ ثم اي؟ قال : بر الوالدين ,قلت, ثم اى؟ قال: الجهاد فى سبيل الله. متفق عليه[1]
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Saya bertanya kepada Nabi Saw: Amal perbuatan apakah yang utama? Jawab Nabi: Shalat pada waktunya, saya bertanya lagi, kemudian apakah? Jawab Nabi berbakti kepada kedua orang tua, Saya bertanya lagi: Kemudian apakah? Jawab Nabi: berjuang untuk menegakkahn agama Allah. ( HR. Bukhari Muslim).
Pada hadits lain ditemukan bahwa orang yang meninggalkan shalat dihukum kafir, berdasarkan hadits Buraidah:
عن بريدة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر [رواه الترمذي][2]
Artinya; Dari Buraidah r.a. berkata: Nabi Muhammad Saw bersabda: Ikatan janji diantara kami dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya berarti kafir. ( HR. Turmuzi).
M.Hasbi as-Shidiqie, mengutip pendapat empat imam Mazhab Fikih,” Orang yang meninggalkan shalat lantaran malas dan bermudah-mudah, dibunuh atas nama had, bukan karena dikafirkan. Sesudah dibunuh dilakukan terhadapnya apa yang dilakukan terhadap muslim lainnya”. Namum pada akhir tulisannya, Ia setuju dengan pendapat Abu Hanifah dan Al Muzani yang telah mengoreksi hadits tersebut,bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikafirkan dan tidak dibunuh akan tetapi hanya dipenjara sampai ia shalat.[3]
Shalat itu merupakan puncak dari segala ibadah. Mendirikan ibadah shalat lima waktu merupakan kewajiban setiap umat Islam yang sudah dewasa (mukallaf). Dalam ayat lain Allah berfirman;
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS Al-Baqarah [2]: 43).
Selain kedua ayat di atas, masih banyak penegasan Allah dalam Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan shalat. Misalnya, sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah [2]: 83, 110, Al-Isra [17]: 78, Al-Ankabut [29]: 45, Yunus [10]: 87, Thaha [20]: 14, ar-Ruum [30]: 31, Luqman [31]: 17, Al-Ahzab [33]: 33.Shalat lima waktu hukumnya wajib. Orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya berdosa. Karena sesungguhnya, shalat itu merupakan puncak dari segala ibadah.”Islam dibangun di atas lima perkara yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji (bila mampu), dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar RA). Namun, bagaimana bila tidak sengaja meninggalkannya? Misalnya karena tertidur? Atau terpaksa meninggalkan karena ada larangan untuk mengerjakannya, seperti haid dan nifas? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, orang yang tidak sengaja meninggalkan shalat, maka dia harus menggantinya di waktu yang lain. Namun, ada juga yang berpendapat, dia tidak wajib menggantinya. Munculnya pendapat diatas, berdasarkan beberapa dalil yang dipahami oleh para ulama.
Kewajiban shalat bagi orang mukmin waktunya sudah ditentukan. Orang mukmin sendiri dalam menjalankan kewajiban itu terkadang karena suatu hal yang sangat mendesak tidak dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang ditentukan syariat. Dari sinilah kemudian muncul istilah ada’, qadha’ dan i’adah.
Dalam pengertiannya shalat ada diartikan dengan menjalankan shalat dalam batas waktu yang telah ditentukan. Termasuk dalam ada menurut madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takbiratul ihram di akhir waktu shalat. Sementara Syafi’iyyah berpendapat bahwa seseorang itu shalat ‘ada apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.
Menangguhkan shalat sampai habis waktunya dengan sengaja tanpa ada halangan yang dibenarkan oleh syara’ hukumnya haram dengan qath’i berdasarkan nash Al Qur’an : Firman Allah Ta’ala :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, ( yaitu ) orang-orang yang
lalai dari shalatnya”
Firman Allah Ta’ala :
“Maka datanglah sesudah mereka , pengganti ( yang jelek ) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”( Q. S. 19 : 59 ).
Ketetapan ini pun dikukuhkan oleh pengertian hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan tentang waktu shalat. Allah s.w.t. telah menentukan bagi setiap shalat fardu waktu tersebut dari dua sisi ; waktu tertentu saat shalat dikerjakan ; dan waktu tertentu saat shalat dianggap tidak sah sekalipun dikerjakan. Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barang siapa melalaikan shalat Ashar, seolah-olah ia telah merelakan keluarga dan hartanya pincang “.
Oleh karena itu, barangsiapa mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada halangan (uzur), maka ia berdosa. Tetapi, jika dia mengakhirkannya karena suatu halangan, tidaklah berdosa. Halangan-halangan itu ada yang dapat menggugurkan kewajiban shalat sama sekali dan ada pula yang tidak menggugurkannya sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan.
Sedangkan halangan atau uzur yang dapat menggugurkan shalat dari seseorang, yaitu :1). Haid dan Nifas: Wanita yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan menunaikan shalat. Juga tidak wajib mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkan di saat haid dan nifas tersebut, sekalipun dia harus mengqadha puasa. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika tenyata darah yang keluar itu haid, maka hentikanlah shalat.” 2). Gila. Kewajiban shalat itu gugur dari orang gila yang terus-menerus. Namun, orang gila yang kumat-kumatan, ketika sadar wajib mengerjakan shalat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Beban taklif itu diangkat (oleh Allah) dari tiga golongan: orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai dia sadar kembali.” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Hakim). 3). Pingsan. Kewajiban shalat akan gugur dari orang yang pingsan jika pingsannya berlangsung dalam dua waktu Shalat yang bisa dijamak, seperti seseorang pingsan sebelum masuk waktu Dzuhur sampai dengan matahari terbenam. 4. Murtad. Seseorang yang murtad (keluar dari Islam) kemudian masuk Islam kembali, maka hukumnya sama dengan orang kafir asli, yakni dia tidak wajib mengqadha shalat. Tetapi, menurut ulama Syafi’i ia wajib mengqadha semua shalat yang ia tinggalkan ketika murtad sebagai hukuman kepadanya.
B. Pembatasan Masalah
Permasalahan shalat yang begitu rumit ini akan kami batasi dengan permasalahan yang berhubungan dengan shalat qadha baik dari aspek pengertian, dasar hukum, perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, dan tatacara pelaksanaan shalat qadha. Begitu pula kami akan bahas seputar shalat i’adah walaupun tidak akan seluas sahalat qadha karena kami mengalami kesulitan dalam mencari sumber-sumber yang membahas secara gamblang materi tersebut.
II. Pembahasan
A. Shalat Qadha
1. Pengertian Shalat Qadha
Pengertian qadha secara bahasa ( lughah) adalah memutuskan dan mengganti. Sedangkan menurut istilah fikih adalah mengerjakan shalat diluar waktu yang telah disyari’atkan. Maka shalat qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memunginkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ الأَنْصَارِىِّ عَنْ أَبِى قَتَادَةَ قَالَ ذَكَرُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- نَوْمَهُمْ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ « إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِى الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِىَ أَحَدُكُمْ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا [4]
186 - حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُوسَى الأَنْصَارِىُّ حَدَّثَنَا مَعْنٌ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَعَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ وَعَنِ الأَعْرَجِ يُحَدِّثُونَهُ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْعَصْرِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ ». وَفِى الْبَابِ عَنْ عَائِشَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِى هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَبِهِ يَقُولُ أَصْحَابُنَا وَالشَّافِعِىُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ. وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَهُمْ لِصَاحِبِ الْعُذْرِ مِثْلُ الرَّجُلِ يَنَامُ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ يَنْسَاهَا فَيَسْتَيْقِظُ وَيَذْكُرُ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَعِنْدَ غُرُوبِهَا.[5]
2. Dasar Hukum Shalat Qadha
Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya antara qadha’ dan ada’ adalah sama, yaitu sama-sama wajib. Hanya saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. Yang satu dilaksanakan tepat waktu, yang satu tidak tepat waktu, sehingga berdosa. Tetapi terlepas berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan mengurangi nilai seorang hamba dengan Tuhannya.
Apabila seseorang mengakhirkan shalat hingga lewat waktunya, kerana uzur seperti tidur atau lupa, maka wajiblah baginya untuk menqadla shalat yang ditinggalkan tesebut. Dan apabila ia meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa uzur, maka itu termasuk perbuatan ma’siat, dan wajib baginya mengqadla shalat tersebut dan bertaubat.
Adapun halangan yang membolehkan seseorang mengakhirkan Shalat dari waktunya, dan tidak berdosa karenanya ialah tidur, lupa, dan lalai.
1. Diterima dari Abu Qatadah, para sahabat menceritakan kepada Rasulullah saw perihal tidur mereka yang menyebabkan tertunda shalatnya, maka Rasul bersabda, “Sesungguhnya tidaklah termasuk keteledoran karena tidur, tetapi keteledoran itu di waktu terjaga. Karena itu, jika seseorang di antaramu lupa shalat atau tertidur hingga meninggalkan shalat, hendaklah ia melakukannya bila telah ingat atau sadar kembali.” (HR Nasa’i dan Timidzi seraya menyatakannya sebagai hadis yang sahih).
2. عن انس بن مالك رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من نسي صلاة فليصل اذا ذكرها, لا كفارة لها الا ذلك: واقم الصلاة لذكري
Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kaffarat yang lain.” (HR al-Khamsah/lima imam hadis)[6]
3. Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, “Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah berfirman, ‘dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku’.” (Thaha: 14).
4. Hadits sunan Ibnu Hibban No. 697:
697 - حدثنا حرملة بن يحيى . حدثنا عبد الله بن وهب . حدثنا يونس هن ابن شهاب عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة : – أن رسول الله صلى الله عليه و سلم حين قفل من غزوة خيبر فسار ليلة حتى إذا أدركه الكرى عرس وقال لبلال ( أكلا لنا الليل ) فصلى بلال ما قدر له . ونام رسول الله صلى الله عليه و سلم واصحابه . فلما تقارب الفجر استتد بلال إلى راحلته مواجه الفجر . فغلبت بلالا غيناه وهو مستند إلى راحلته . فلم يستقيظ بلال ولا أحد من اصحابه حتى ضربتهم الشمس . فكان رسول الله صلى الله عليه و سلم اولهم استيقاظا . ففزع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( أي بلال ) فقال بلال اخذ بنفسى الذي أخذ بنفسك بأبي أنت وأمي يا رسول الله قال ( اقتادوا رواحلهم شيئا . ثم توضأ رسول الله صلى الله عليه و سلم . وأمر بلال فاقام الصلاة . فصلى بهم الصبح . فلما قضى النبي صلى الله عليه و سلم الصلاة قال ( من نسى صلاة فليصلها إذا ذكرها فان الله عز و جل قال ( وأقم الصلاة لذكرى )
قال وكان شهاب يقرؤها للذكرى – . قال الشيخ الألباني : صحيح[7]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal “Berjaga-jagalah malam ini”, kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, “Hai Bilal”, kemudian Bilal menjawab “telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul”(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat “Tambatkan tunggangan kalian”, kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
Pada hadits lain, dari Abu Qatadah ra, “Pada suatu malam kami bepergian bersama Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, ‘Tidakkah lebih baik kita beristirahat ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Saya khawatir kalian akan tertidur sehingga meninggalkan Shalat’. Bilal berkata, ‘Saya akan membangunkan kalian,’ Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu, Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, ‘Hai Bilal mana janjimu?’ Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini’, jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, ‘Allah mencabut roh-roh kalian kapan saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah azan Shalat untuk orang banyak’. Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar terang beliau shalat dengan berjama’ah bersama mereka.” (HR al-Khamsah, dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa’i). Menurut riwayat Ahmad orang-orang berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya shalat ini kita kerjakan besok pada waktunya?” Rasul menjawab, “Bukankah Allah telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?”
3. Perbedaan Pendapat di kalangan Fuqaha
Para ulama sepakat bahwa barang siapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menqadha’nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran. Sedangkan wanita haid dan nifas tidak wajib mengqadhanya walaupun waktunya luas. Sebab kewajiban shalat gugur dari mereka. Jika mereka tidak wajib mengerjakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha’. Dan terdapat perselisihan pendapat tentang kewajiban qadha’ atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.[8]
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/membatalkan mengqadha/mengganti shalat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan shalat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu shalat lainnya, mereka harus menambah shalat-shalat sunnah untuk menutupi kekurangannya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan shalat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha shalat berikut ini :
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu shalat atautertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”.Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha shalat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran khitab (perintah) untuk melaksanakan shalat, dan dia harus melakukannya…’.Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan shalat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk shalat yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa shalat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan shalat karena lupa atau tertidurtidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan shalat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
2). Rasulallah saw. setelah shalat Dhuhur tidak sempat shalat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan shalat Ashar. Setelah shalat Ashar beliau saw. shalat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha shalat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir makalakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw.menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Kalau shalat sunnah muakkad setelah dhuhur, shalat witir dan shalat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulullah saw. pada waktu setelah shalat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka shalat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti daripada shalat-shalat sunnah ini.
5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggangan kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan shalat (shubuh yang ketinggalan). Rasulullah saw. melakukan shalat sunnah sebelum shubuh kemudian shalat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) shalat sampai datang lagi waktu shalat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/menggampangkan shalat ialah bila meninggalkan shalat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha shalat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidakmenyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha shalat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha shalat !
6). Hadist lain yang menguatkan adanya shalat qadha adalah hadits Jabir RA.
573 - حدثنا مسدد قال حدثنا يحيى عن هشام قال حدثنا يحيى هو انب أبي كثير عن أبي سلمة عن جابر قال : جعل عمر يوم الخندق يسب كفارهم وقال ما كدت أصلي العصر حتى غربت قال فنزلنا بطحان فصلى بعد ما غربت الشمس ثم صلى المغرب[9]
Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan shalat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan shalat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bithhan. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) shalat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) shalat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan shalat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan shalat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘mengqadha shalat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 shalat Qadha’menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Shalatditerangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan shalat itu berdosa dan ia tetap wajib mengqadhanya.Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha shalat ! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini.
Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha shalat, dengan demikian buat kita sudah jelas bahwa mengqadha/menggantikan shalat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalahqadhanya.
Para ulama saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya? Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara Asy-Syafi’i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya.
Asy-Syafi’i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha’ shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintahkan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha’ ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula,tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.
Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung
menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi’i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama’ah atau memperbanyak orang yang berjama’ah atau lainnya.
Masalah ini dikupas tuntas oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab ‘Ash-Shalat’ dan dia menegaskan pendapat yang menyatakan pembolehan penundaannya. Mereka saling berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan secara sengaja hingga keluar waktunya, apakah dia harus mengqadha’nya ataukah tidak?
Pendapat Ibnul Qayyim di dalam kitab ‘Ash-Shalat’, para ulama telah sepakat bahwa orang yang menunda shalat tanpa alasan hingga keluar dari waktunya, mendapat dosa yang besar. Namun empat imam sepakat mewajibkan qadha’ di samping dia mendapat hukuman, kecuali dia memohon ampun kepada Allah atas perbuatannya itu.
Ada segolongan ulama salaf dan khalaf yang menyatakan, siapa menunda shalat hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan, maka tidak ada lagi qadha’ atas dirinya sama sekali, bahwa qadha’nya tidak akan diterima, dan dia harus bertaubat dengan ‘taubatan nashuha’, harus memperbanyak istighfar dan shalat nafilah. Orang-orang yang mewajibkan qadha’ berhujjah bahwa jika qadha’ ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma’afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima’afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tapi toh tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha’ ini ialah Abu Umar
bin Abdul-Barr.
Adapun di antara orang-orang yang tidak mewajibkan qadha’ bagi orang yang sengaja menunda shalat ialah golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim
menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat
dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini,
bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha’ ini tertuju kepada orang
yang lupa dan tertidur. Berarti yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah
syari’at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal
seperti Jum’at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali
dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga
keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”, sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah
Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan
shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka’at atau kurang dari satu
raka’at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya.
Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi
yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada
waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya,
agar mereka dapat mengerjakannya lengkap degan syarat dan rukun-rukunnya,
yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini
menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.
Tentang tidak diterimanya qadha’ orang yang menunda shalat hingga keluar dari waktunya, bukan berarti dia lebih ringan dari orang-orang yang diterima penundaannya. Mereka ini tidak berdosa. Kalaupun qadha’nya tidak diterima, hal itu dimaksudkan sebagai hukuman atas dirinya. Ibnul Qayyim menguaraikan panjang lebar masalah ini.
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam ‘Al-Ikhiyarat’. Dia berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja,tidak disyari’atkan qadha’ bagi dirinya dan tidak sah qadha’nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu’. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi’i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, ‘Ar-Raudhatun Nadiyyah’.
Sayyid Sabiq mengemukakan perbedaan pendapat sebagaimana diatas. Akan tetapi Sayyid Sabiq sendiri memilih pendapat bahwa dia tidak usah mengqadha’ shalatnya, tetapi hendaknya bertaubat, banyak beristighfar, banyak melakukan shalat sunnah dan amal-amal shalih karena sesungguhnya kebaikan bisa menghapus keburukan.
Menurut penulis sebab-sebab perbedaan pendapat dalam hal shalat qadha ini berakar pada permasalahan mengenai boleh tidaknya melakukan qiyas dalam urusan ubudiyah. Jika memang qiyas diperbolehkan, terdapat pula perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya mengqiyaskan orang yang sengaja terhadap orang yang lupa.
Mazhab Hanafi mengatakan: Wajib qadha’ atas orang yang hilang akalnya karena benda yang memabukkan yang diharamkan seperti arak dan seterusnya. Sedangkan orang yang hilang akal karena pingsan atau gila, maka kewajiban qadha’ itu menjadi gugur dengan dua syarat:Pertama: Pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih dari lima kali waktu shalat. Sedangkan kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha’ atasnya. Kedua: Tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat: Kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha’ atasnya.
Maliki: Orang gila dan pingsan wajib qadha’. Sedangkan orang yang mabuk, apabila itu disebabkan oleh barang haram maka ia wajib qadha’, dan jika disebabkan oleh barang halal, seperti orang yang minum susu asam lalu mabuk, maka tidak wajib qadha atasnya.
Hambali: Orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram wajib qadha, sedangkan orang gila tidak wajib.
Syafi’i: Orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu pula orang yang pingsan dan orang yang mabuk jika pingsan dan mabuknya itu bukan disebabkan oleh minuman keras yang diharamkan. Kalau tidak demikian maka wajib qadha atasnya.
Imamiyah: Orang yang mabuk karena minuman-minuman keras yang diharamkan, wajib qadha’ secara mutlak, baik ia meminumnya dengan sadar atau tidak sadar, terpaksa atau dipaksa. Sedangkan orang gila dan orang pingsan, tidak wajib qadha atas mereka.[10]
4. Cara Mengqadha Shalat
Hanafi dan Imamiyah: Orang yang ketinggalan shalat fardhu, ia wajib mengqadha’ sesuai dengan yang ditinggalkannya itu tanpa mengubah dan menggantinya. Misalnya: Seseorang terhutang shalat sempurna dan hendak mengqadha’nya, padahal ia berada dalam perjalanan, maka ia mengqadha’nya dengan sempurna pula. Dan orang yang terhutang shalat qashar, dan hendak mengqadha’nya, padahal ia tidak dalam perjalanan, maka ia menqadha’nya. dengan qashar. Begitu pula dengan shalat jahr (yang disuarakan dengan keras) atau shalat ikhfat (yang disuarakan pelan). Jika ia mengqadha’ shalat Isya’ dan Maghrib di waktu siang, maka hendaklah dilakukannya dengan suara Jahr, dan kalau ia mengqadha’ shalat Dzuhur dan Ashar di waktu malam, maka hendaklah dilakukannya dengan suara ikhfat.
Hambali dan Syafi’i: Barang siapa hendak mengqadha’ shalat qashar yang terhutang atasnya, maka kalau ia berada dalam perjalanan di qadha’nya dengan qashar sebagaimana yang ditinggalkannya. Sedangkan kalau ia tidak dalam perjalanan, maka shalat qashar itu wajib di qadha dengan sempurna. Ini berkaitan dengan jumlah rakaat, sedangkan yang berkaitan dengan sir (suara pelan) dan jahr (suara keras) maka Syafi’i mengatakan: Orang yang mengqadha’ shalat Dzuhur di waktu malam, ia wajib melakukannya dengan suara jahr (keras), dan orang yang mengqadha’ shalat Maghrib di waktu siang, ia wajib melakukannya dengan suara pelan.
Hambali mengatakan: Bacaan dalam shalat qadha’ harus dengan suara pelan secara mutlak, baik shalat itu adalah shalat sir atau shalat jahr, baik diqadha’nya pada waktu malam atau pun di waktu siang, kecuali jika ia menjadi Imam dan shalat itu shalat jahr, dan diqadha nya di waklu malam.
Para ulama sepakat selain para ulama Syafi’i atas wajibnya tertib dalam melakukan qadha’ shalat-shalat yang tertinggal. Shalat yang terdahulu harus diqadha’ lebih dahulu dari pada yang belakangan. Kalau ia tertinggal shalat Magrib dan Isya’, maka ia harus mengqadha’ shalat Maghrib lebih dahulu, baru Isya’, seperti halnya dalam shalat pada waktunya.
Syafi’i mengatakan: Tertib antara shalat yang tertinggal itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Orang yang mengqadha’ shalat Isya lebih dahulu, kemudian baru melakukan shalat Maghrib, shalatnya tetap sah.
Empat mazhab sepakat: Mewakili orang lain dalam ibadah haji dari orang yang hidup hukumnya ja’iz (boleh), apabila orang yang diwakili itu tidak mampu melaksanakannya sendiri. Dan boleh pula mewakili orang yang sudah meninggal, selain dari ulama Maliki, mereka mengatakan: Tidak ada atsar (hadis) bagi perwakilan dari orang hidup dan tidak juga dari orang yang sudah meninggal.
Imamiyah dalam hal ini mempunyai pendapat sendiri, berbeda dari mazhab-mazhab lainnya, yaitu: Mereka mewajibkan atas seorang anak mengqadha’ shalat dan puasa yang ditinggalkan oleh ayah mereka, tetapi ia antara mereka sendiri terdapat perselisihan pendapat, ada yang mengatakan bahwa si anak tadi wajib mengqadha’ semua yang ditinggalkan oleh ayahnya sekalipun dengan sengaja. Dan ada pula yang mengatakan, si anak hanya wajib menqadha apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya yang disebabkan oleh halangan sakit atau yang sejenisnya. Dan yang lain mengatakan, si anak tidak wajib mengqadha’ apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya kecuali yang ditinggalkannya dalam sakit yang membawa kematiannya. Dan sebagian mereka mengatakan, si anak wajib pula mengqadha’ apa-apa yang ditinggalkannya oleh ibunya, sebagaimana ia wajib meng-qadha’’ apa-apa yang ditinggalkan oleh ayahnya tersebut.
Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha’ adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar bin Khattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain. Hujah mereka: Islam telah mewajibkan shalat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha’ shalat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan shalat sunat yang banyak untuk menggantikannya.
Orang-orang yang mewajibkan qadha’ berhujjah bahwa jika qadha’ ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di ma’afkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dima’afkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak. Disamping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat pernah shalat Ashar setelah masuk waktu Maghrib pada perang Khandaq. Sebagaimana yang diketahui, mereka tidak tertidur dan tidak lupa, meskipun sebagian di antara mereka benar-benar lupa, tetapi tidak mereka semua lupa. Yang ikut mendukung kewajiban qadha’ ini ialah Abu Umar bin Abdul-Barr.
Golongan Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Di dalam kitab Ash-Shalat, Ibnul Qayim menyebutkan berbagai macam dalil untuk menolak alasan yang tidak sependapat dengannya. Di antaranya ialah apa yang dapat di pahami dari hadits ini, bahwa sebagaimana yang dituturkan, kewajiban qadha’ ini tertuju kepada orang yang lupa dan tertidur. Berarti yang lainnya tidak wajib. Perintah-perintah syari’at itu dapat dibagi menjadi dua macam : Tidak terbatas dan temporal seperti Jum’at hari Arafah. Ibadah-ibadah semacam ini tidak diterima kecuali dilaksanakan pada waktunya. Yang lainnya ialah shalat yang ditunda hingga keluar dari waktunya tanpa alasan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”, sekiranya shalat Ashar itu dikerjakan setelah Maghrib, justru lebih benar dan mutlak, tentu orangnya lebih mendapatkan shalat Ashar, baik dia mendapatkan satu raka’at atau kurang dari satu raka’at atau dia sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun darinya. Orang-orang yang berperang juga diperintahkan shalat, meski dalam situasi yang genting dan rawan. Semua itu menunjukkan tekad pelaksanannya pada waktunya. Sekiranya di sana ada rukhsah, tentunya mereka akan menundanya, agar mereka dapat mengerjakannya lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya, yang tidak mungkin dapat dipenuhi ketika perang sedang berkecamuk. Hal ini menunjukkan pelaksanaannya pada waktunya, di samping mengerjakan semua yang diwajibkan dalam shalat dan yang disyaratkan di dalamnya.
Uraian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang masalah ini disampaikan di dalam ‘Al-Ikhiyarat’. Dia berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyari’atkan qadha’ bagi dirinya dan tidak sah qadha’nya. Tapi dia harus memperbanyak tathawu’. Ini juga merupakan pendapat segolongan orang-orang salaf seperti Abu Abdurrahman rekan Asy-Syafi’i, Daud dan para pengikutnya. Tidak ada satu dalil pun yang bertentangan dengan pendapat ini dan bahkan sejalan dengannya. Yang condong kepada pendapat ini ialah Syaikh Shiddiq hasan di dalam kitabnya, ‘Ar-Raudhatun Nadiyyah’.
Mengqadha Shalat boleh dilakukan setiap saat, kecuali pada tiga waktu yang dilarang Shalat, yaitu ketika matahari terbit, matahari berada tepat di tengah langit (waktu istiwa’), dan ketika matahari terbenam. Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa Shalat yang tertinggal, sebab pengertian qadha adalah melakukan Shalat yang telah lewat waktunya.
Mengqadha shalat wajib dilakukan dengan segera, baik shalat itu tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya ataupun tanpa uzur sama sekali, dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan menuntut ilmu yang wajib ‘ain baginya, begitu juga makan dan tidur. Dengan hanya mengqadha Shalat bukan berarti seseorang telah bebas dari dosa (karena menunda Shalat tanpa uzur), tetapi ia masih harus bertaubat, sebagaimana taubat tidak bisa menggugurkan kewajiban Shalat, namun harus disertai mengqadha pula. Hal ini karena salah satu syarat bertaubat adalah menghilangkan perbuatan dosa, sedang orang yang bertaubat tanpa mengqadha belum berarti ia telah menghilangkan perbuatan dosa tersebut.
Barangsiapa tertinggal sejumlah Shalat, tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya, maka ia harus mengerjakan qadha sampai merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.
B. Shalat I’adah
1. Pengertian Shalat I’adah
Menurut istilah para fuqaha, ‘iadah diartikan dengan menjalankan shalat yang sama untuk keduakalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama terdapat cacat atau ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat afdhaliyahnya.
Shalat i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. I’adah yang wajib diantaranya apabila seseorang tidak menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib ‘iadah pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal ini mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu Rakhamut: I, 36, Al-Majmu’: 3, 132)
Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah berijtihad kecuali ijtihad itu dengan melaksanakan shalat keempat arah. (al-Majmu’: III, 304). Begitu pula dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka wajib i’adah sebagaimana disampaikan Qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid al-Ghazali.
Adapun yang tidak wajib i’adah seperti seorang yang tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan yang sunnah i’adah adalah apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau berjama’ah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan i’adah mengikuti jama’ah yang kedua.
Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah seperti shalat ada’ atau qadha’. Pertama, i’adah tidak berfungsi menggantikan shalat sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang sah. Kedua, i’adah ada yang wajib dan ada yang sunah. Hal ini tidak seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga, shalat i’adah yang belum dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut seperti shalat qadha’ yang belum dilaksanakan.
C. Solusi Pembelajaran tentang Shalat Qadha dan I’adah untuk peserta didik
Solusi pembelajaran bagi peserta didik antara lain:
1) Membiasakan peserta didik melakukan shalat dzuhur berjama’ah di masjid yang berada di sekitar sekolah dengan bimbingan guru mata pelajaran yang mengajar pada waktu datangnya shalat.
2) Mengatur jadwal shalat bertepatan dengan waktu istirahat.
3) Pada tahap awal pembiasaan guru melakukan absensi dalam pelaksanaan shalat zuhur dan guru bersama-sama melaksnakannya.
4) Membangun masjid atau mushalla yang refresentatif di sekitar sekolah, atau bekerjasama dengan masyarakat di sekitar sekolah.
5) Melakukan shalat pada waktunya dengan segera tanpa menunda-nunda, karena qadha merupakan alternatif terakhir jika terjadi karena lupa dan ketiduran tanpa disengaja. Jika disengaja pun shalat harus segera diqadha untuk mengurangi kekurangan ibadah yang diikuti dengan taubat dengan memperbanyak istigfar sebagai pembelajaran pengenalan jalan taubat kepada peserta didik.
6) Pembiasaan shalat ketika peserta didik berada di sekolah menjadi tanggung jawab manajemen sekolah untk memberikan contoh dan menyediadakan sarana beribadah, karena tidak mungkin peserta didik melaksanakan shalat jika tidak didukung dengan berbagai sarana dan aturan yang mengaturnya, sampai mereka menyadari kebutuhan akan melaksanakan shalat sebagai kewajiban pribadinya kepada Allah Swt.
7) Materi shalat dalam pembelajaran bukan saja menyampaikan materi shalat akan tetapi lebih bermakna jika peserta didik terbiasa secara terkontrol melakukan shalat, guru bertugas mengevaluasi kemampuan peserta didik.
8) Melakukan kerjasama dengan orang tua dalam mengontrol shalat lima waktu selama berada di rumah, dengan memberikan kartu shalat peserta didik yang selalu diperiksa seminggu sekali minimal.
III. Kesimpulan
Demikianlah makalah ini kami sampaikan dengan keterbatasan sumber-sumber yang relevan. Perbedaan pendapat tentang ada tidaknya shalat qadha ini hanyalah persoalan khilafiyah karena pemahaman hadits yang ada, seperti Syafi’iyah yang menggunakan qiyas sebagai salah satu sumber hukumnya, pada prakteknya mengqiyaskan kewajiban qadha puasa terhadap kewajiban shalat. Namun pada umumnya jumhur ulama fikih berpendapat bahwa ketinggalan shalat jika ada uzur yang membolehkannya, maka segera menggantinya, baik ada yang mengatakan itu sebagai shalat qadha atau sebagai shalat pengganti yang dikerjakan ketika mengingatnya. Bahkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang tidak membolehkan shalat qadha pada prinsipnya shalat yang ditinggalkan harus diganti dengan amalan-amalan sunnat dan bertaubat sebagai kafarah terhadap shalat yang ditinggalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
An Nawawy ,Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf: رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين , terjemahan H. Salim Bahreisy, Jilid 2, Bandung: PT. Al Ma’arif:Jilid II,
al-Munziri , Zaki al Din Abdul Azhim , Ringkasan Shahih Muslim, yang disusun . Bandung: Mizan
as-Shidiqie , M. Hasbi, Hukum-Hukum Fiqig Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, Cet-7 h,
Al Usaimin ,Syaeikh Muhammad bin Shalih , Hukmu Tariki as-Shalat, Darul Wathan Lin Nashir, 1995.
Al Jauziyah ,Ibnu Qayyim, As-Shalat wa Hukmu Tarikuha, Beirut: Daru Ibnu Hazim, 1996.
Raghib ,Ali, Ahkam as-Shalat, Kairo Mesir: Darun Nahdlah al-Islamiyah, 1991, Cet-1
Turmudzi , Sunan Bab Shalat. Hadits No. 177. Maktabah Syamilah.
[1] Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawy: رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين , terjemahan H. Salim Bahreisy, Jilid 2, Bandung: PT. Al Ma’arif:Jilid II, h. 177. Hadits ini terdapat dalam sunan Bukhari nomor hadits 504 dengan redaksi:
حدثنا أبو الوليد هشام بن عبد الملك قال حدثنا شعبة قال الوليد بن العيزار أخبرني قال سمعت أبا عمرو الشيباني يقول حدثنا صاحب هذه الدار وأشار إلى دار عبد الله قال : سألت النبي صلى الله عليه و سلم أي العمل أحب إلى الله ؟ قال ( الصلاة على وقتها ) . قال ثم أي ؟ قال ( ثم بر الوالدين ) . قال ثم أي ؟ قال ( الجهاد في سبيل الله ) . قال حدثني بهن ولو استزدته لزادني
[2] Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawy: رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين , terjemahan H. Salim Bahreisy, Jilid 2, Bandung: PT. Al Ma’arif:Jilid II, h. 180 dan hadits jenis ini ditemukan dalam Shahih Muslim, Ringkasan Shahih Muslim, yang disusun Zaki al Din Abdul Azhim al-Munziri. Bandung: Mizan h. 130 dengan redaksi : عن جابر رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
[3] M. Hasbi as-Shidiqie, Hukum-Hukum Fiqig Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, Cet-7 h,51
[4] Sunan Turmudzi Bab Shalat. Hadits No. 177. Maktabah Syamilah.
[5] Sunan Turmudzi Bab Shalathadits no. 186, Maktabah Syamilah
[6] Imam Al Zabidi, Ringkasan Shahih Al Bukhari, Bandung: Mizan, 2002, Cet-6, h.156.
[7] Shahih Ibnu Hibban, No. 697.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, الفقه على المذاهب الخمسة , Beirut: Dar al-Jawad, Terjemahan oleh Masykur AB, dkk, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Malikim Suafi’i, Hambali, Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet-5, th. 2000, h. 132
[9] Sunan Bukari Hadits No. 573. Maktabah Syamilah.
[10] Muhammad Jawad Mughniyah, الفقه على المذاهب الخمسة , Beirut: Dar al-Jawad, Terjemahan oleh Masykur AB, dkk, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Malikim Suafi’i, Hambali, Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet-5, th. 2000, h. 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar