BAB: Harus Saling Rela Dalam Setiap Transaksi
Semua jenis harta bisa kita perjualbelikan, asalkan syarat-syarat jual beli terpenuhi.
Syarat paling penting yang harus ada dalam sebuah transaksi adalah adanya kerelaan di antara orang-orang yang mengadakan transaksi, artinya tidak ada pihak-pihak yang dipaksa ataupun merasa terpaksa dengan transaksi yang dilakukan.
Dalil hal ini adalah firman Allah,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela." (QS. An-Nisa':29)
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ».
Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Yang namanya jual beli itu hanyalah jika didasari asas saling rela.” (HR. Ibnu Majah, no. 2269; dinilai sahih oleh Al-Albani)
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
"Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Sesungguhnya, harta seorang muslim itu tidak halal untuk diambil kecuali dengan sepenuh kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad, no. 21237; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Orang yang mengadakan transaksi jual beli, karena dipaksa atau merasa terpaksa, tentu tidak memiliki kerelaan hati sepenuhnya.
Demikian pula, sepenuh kerelaan hati tidak dijumpai pada diri orang yang memberikan sesuatu kepada kita karena malu, sungkan, dan pekewuh dengan kita. Oleh karena itu, ketika kita kebetulan lewat di depan orang yang sedang makan lalu dengan basa-basi dia memberikan tawaran kepada kita untuk makan maka janganlah kita terima tawaran orang tersebut. Alasannya, karena harta orang lain--makanan itu termasuk harta--itu halal kita komsumsi jika orang tersebut memberikannya kepada kita dengan kerelaan hati, sedangkan orang yang basa-basi bukanlah orang yang dengan sepenuh kerelaan hati memberikan hartanya kepada kita.
Kembali ke pokok masalah, tiga dalil di atas, yaitu satu ayat Alquran dan dua hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa kerelaan hati untuk mengadakan transaksi adalah syarat sahnya transaksi.
Oleh karena itu, jika ada preman kampung yang memaksa kita untuk menjual salah satu barang yang kita miliki sehingga akhirnya kita menjual barang tersebut kepadanya maka transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi yang tidak sah karena tidak memenuhi syarat “saling rela”. Artinya, barang tersebut masih menjadi milik kita dan uang yang kita terima masih merupakan uang milik si preman.
Demikian juga, ketika ada seseorang yang menjual barang miliknya kepada guru ngajinya yang sangat dia segani karena malu dan sungkan untuk menolak permintaan sang guru yang ingin membeli barang miliknya maka transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi yang tidak sah karena tidak ada kerelaan hati.
Jadi, tidak disyaratkan bahwa salah satu pelaku transaksi berterus terang bahwa dia tidak rela. Adanya indikator keadaan, yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan merasa terpaksa atau merasa sungkan dan malu, sudah cukup bagi kita untuk tidak melakukan transaksi dengannya.
Patut diketahui, bahwa jual beli dengan orang yang dipaksa adalah sah, jika pemaksaan yang terjadi adalah pemaksaan yang bisa dibenarkan. Misalnya: Ada orang yang berutang dengan menggunakan agunan atau jaminan. Setelah utang tersebut jatuh tempo, ternyata orang tersebut belum mampu melunasi utangnya, namun dia pun tidak mau menjual barang agunan yang telah diserahkan sehingga hasil penjualan barang agunan tersebut bisa digunakan untuk melunasi utangnya yang ada. Dalam kondisi semacam ini, pemilik uang bisa melaporkan kasus yang terjadi kepada aparat yang berwenang, lalu pihak aparat memaksa orang yang berutang untuk menjual barang agunannya. Transaksi jual beli dengan orang yang terpaksa, dalam kondisi ini, hukumnya sah karena pemaksaan yang terjadi adalah pemaksaan yang bisa dibenarkan oleh hukum syariat.
Jadi, ketika pelunasan utang telah jatuh tempo dan orang yang berutang tidak bisa melunasi utangnya ketika itu, pemegang agunan--alias pihak yang mengutangi--tidak berhak untuk langsung menjual barang agunan yang dia pegang. Kewenangan untuk menjual barang agunan tetap berada pada pemilik barang--alias pihak yang berutang--.
Catatan penting tentang kerelaan hati adalah: kerelaan hati bukanlah segalanya agar sebuah transaksi itu sah. Kerelaan hati bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk melegalkan berbagai transaksi yang dilarang oleh syariat. Transaksi riba adalah haram, meski nasabah riba dengan sepenuh kerelaan hati memberikan tambahan, alias memberikan riba. Sebagaimana transaksi menjual kemaluan (baca: pelacuran dan perzinaan) adalah transaksi yang haram, meski kedua belah pihak dengan penuh kerelaan hati melakukannya.
www.pengusahamuslim.com/harus-saling-rela-dalam-setiap-tra…/
Semua jenis harta bisa kita perjualbelikan, asalkan syarat-syarat jual beli terpenuhi.
Syarat paling penting yang harus ada dalam sebuah transaksi adalah adanya kerelaan di antara orang-orang yang mengadakan transaksi, artinya tidak ada pihak-pihak yang dipaksa ataupun merasa terpaksa dengan transaksi yang dilakukan.
Dalil hal ini adalah firman Allah,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela." (QS. An-Nisa':29)
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ».
Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Yang namanya jual beli itu hanyalah jika didasari asas saling rela.” (HR. Ibnu Majah, no. 2269; dinilai sahih oleh Al-Albani)
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
"Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Ingatlah, janganlah berbuat zalim. Sesungguhnya, harta seorang muslim itu tidak halal untuk diambil kecuali dengan sepenuh kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad, no. 21237; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Orang yang mengadakan transaksi jual beli, karena dipaksa atau merasa terpaksa, tentu tidak memiliki kerelaan hati sepenuhnya.
Demikian pula, sepenuh kerelaan hati tidak dijumpai pada diri orang yang memberikan sesuatu kepada kita karena malu, sungkan, dan pekewuh dengan kita. Oleh karena itu, ketika kita kebetulan lewat di depan orang yang sedang makan lalu dengan basa-basi dia memberikan tawaran kepada kita untuk makan maka janganlah kita terima tawaran orang tersebut. Alasannya, karena harta orang lain--makanan itu termasuk harta--itu halal kita komsumsi jika orang tersebut memberikannya kepada kita dengan kerelaan hati, sedangkan orang yang basa-basi bukanlah orang yang dengan sepenuh kerelaan hati memberikan hartanya kepada kita.
Kembali ke pokok masalah, tiga dalil di atas, yaitu satu ayat Alquran dan dua hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa kerelaan hati untuk mengadakan transaksi adalah syarat sahnya transaksi.
Oleh karena itu, jika ada preman kampung yang memaksa kita untuk menjual salah satu barang yang kita miliki sehingga akhirnya kita menjual barang tersebut kepadanya maka transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi yang tidak sah karena tidak memenuhi syarat “saling rela”. Artinya, barang tersebut masih menjadi milik kita dan uang yang kita terima masih merupakan uang milik si preman.
Demikian juga, ketika ada seseorang yang menjual barang miliknya kepada guru ngajinya yang sangat dia segani karena malu dan sungkan untuk menolak permintaan sang guru yang ingin membeli barang miliknya maka transaksi jual beli yang terjadi adalah transaksi yang tidak sah karena tidak ada kerelaan hati.
Jadi, tidak disyaratkan bahwa salah satu pelaku transaksi berterus terang bahwa dia tidak rela. Adanya indikator keadaan, yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan merasa terpaksa atau merasa sungkan dan malu, sudah cukup bagi kita untuk tidak melakukan transaksi dengannya.
Patut diketahui, bahwa jual beli dengan orang yang dipaksa adalah sah, jika pemaksaan yang terjadi adalah pemaksaan yang bisa dibenarkan. Misalnya: Ada orang yang berutang dengan menggunakan agunan atau jaminan. Setelah utang tersebut jatuh tempo, ternyata orang tersebut belum mampu melunasi utangnya, namun dia pun tidak mau menjual barang agunan yang telah diserahkan sehingga hasil penjualan barang agunan tersebut bisa digunakan untuk melunasi utangnya yang ada. Dalam kondisi semacam ini, pemilik uang bisa melaporkan kasus yang terjadi kepada aparat yang berwenang, lalu pihak aparat memaksa orang yang berutang untuk menjual barang agunannya. Transaksi jual beli dengan orang yang terpaksa, dalam kondisi ini, hukumnya sah karena pemaksaan yang terjadi adalah pemaksaan yang bisa dibenarkan oleh hukum syariat.
Jadi, ketika pelunasan utang telah jatuh tempo dan orang yang berutang tidak bisa melunasi utangnya ketika itu, pemegang agunan--alias pihak yang mengutangi--tidak berhak untuk langsung menjual barang agunan yang dia pegang. Kewenangan untuk menjual barang agunan tetap berada pada pemilik barang--alias pihak yang berutang--.
Catatan penting tentang kerelaan hati adalah: kerelaan hati bukanlah segalanya agar sebuah transaksi itu sah. Kerelaan hati bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk melegalkan berbagai transaksi yang dilarang oleh syariat. Transaksi riba adalah haram, meski nasabah riba dengan sepenuh kerelaan hati memberikan tambahan, alias memberikan riba. Sebagaimana transaksi menjual kemaluan (baca: pelacuran dan perzinaan) adalah transaksi yang haram, meski kedua belah pihak dengan penuh kerelaan hati melakukannya.
www.pengusahamuslim.com/harus-saling-rela-dalam-setiap-tra…/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar